Sosok Yang Berpengaruh Dalam Hidup Saya


Oleh: Sumi Fitriyani

Dalam kehidupan ini kita sebagai manusia pasti memiliki sosok orang-orang yang dapat memberikan pengaruh pada diri kita. Bahkan orang tersebut menjadi idola diri kita. Biasanya orang-orang tersebut itu adalah orang-orang yang senantiasa mendukung serta membimbing kita untuk dapat mencapai apa yang telah kita cita-citakan, selalu membantu ketika kita membutuhkannya serta selalu ada ketika kita sedih maupun senang.
Orang-orang tersebut bisa siapa saja, orang tua misalnya. Sudah tidak diragukan lagi, mereka selalu memberikan stimulus-stimulus positif kepada setiap anak-anaknya dengan cara yang berbeda, atau para tokoh yang memberikan quote-quote pun terkadang itu menjadi motivasi bagi sebagian orang, dan masih banyak lagi yang bisa dijadikan sebagai motivasi atau sosok yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan ini.
Begitupun dalam kehidupan saya. Saya merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Banyak sekali orang-orang yang terlibat dalam kehidupan saya ini. Saya tidak akan sampai ke tahap/jenjang ini (perkuliahan) tanpa adanya dorongan mereka semua. Ada salah seorang yang senantiasa membuat saya sadar akan kehidupan yang fana ini. Saya banyak belajar dari kehidupan yang ia hadapi. Dia adalah kakak saya sendiri yang kini sudah lebih dahulu dipanggil oleh Allah Swt pada hari Senin, 09 oktober 2017 lalu.
Kami memang bersaudara tapi tidak terlalu dekat, padahal usia kami tidaklah terlalu jauh, hanya berbeda sekitar tiga tahun. Bahkan ketika kami bertemu selalu berujung dengan perkelahian, baik secara fisik namun ringan maupun adu pembicaraan (biasalah adik-kakak, hehe). Hingga ia memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang Tsanawiyah sambil pesantren di Jampang, Sukabumi, waktu kamipun semakin langka untuk bertemu. Kami bertemu hanya satu tahun sekali saat libur Idul Fitri saja itupun kalau ia pulang ke rumah. Tiga tahun kemudian saya juga melanjutkan ke Boarding school di Kota Sukabumi, hampir setiap libur semester kami pulang ke rumah bersama-sama. Ketika dia lulus MA dan saya lulus SMP, dia melanjutkan S1 di Syamsul ‘Ulum Kota Sukabumi sedangkan saya melanjutkan ke MA Persis 76 Tarogong Kidul, Garut.
Waktu bertemu kami semakin jarang lagi, karena waktu libur antara siswa SMA sederajat dengan Mahasiswa itu berbeda. Kami hanya berkomunikasi melalui Facebook saja, itupun kalau saya ke warnet dan dia sedang online. Jikalau tidak, ya melihat balasannya kembali satu minggu yang akan datang (karena di pesantren dilarang keras untuk membawa hp).
Semuanya berjalan normal sampai saya mau lulus MA. Karena mayoritas keluarga adalah guru, ustadz, semuanya berlabel Tarbiyah, ia menyarankan saya tidak melanjutkan ke Fakultas Tarbiyah khususnya PAI. Ia berharap ada salah satu dari keluarga yang mengambil jurusan selain yang tertera di Fakultas Tarbiyah. Akhiranya setelah saya berkonsultasi kepada wali kelas, guru BK, orang tua, dan teman-teman, saya memutuskan untuk masuk ke Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) UIN SGD Bandung.
Alhamdulillah saya lulus di Jurusan KPI, kakak sayapun mendukung itu. Ia memberikan nasihat-nasihat bagaimana kehidupan jadi seorang mahasiswa terutama di universitas negeri, yang merupakan kehidupan heterogen. Berbeda dari sebelumya setiap pulang kami hanya beradu pembicaraan yang berakhir tanpa solusi namun, kali ini setiap bertemu kami berdiskusi terkadang orang tua juga ikut nimbrung untuk mengasilkan solusi.
Dia orangnya baik banget, rajin, penyayang apa lagi sama adik saya, penyabar, ulet, fasih berbahasa Bahasa Arab dan juga jago masak. Saya banyak belajar dari dia, terutama memasak yang dulu taunya makan doang hehe.
Hubungan kami baik-baik saja, komunikasi berjalan dengan lancar. Namun sebetulnya saya tidaklah mengenal bagaimana kehidupan kakak saya sendiri. Sebelum saya masuk kuliah saya tahu bahwa dia sakit mag akut. Selama satu tahun masih baik-baik saja, namun ia telah mengalami penurunan berat badan yang drastis, puncaknya ketika saya libur semester dua dan dia sedang persiapan untuk skripsi, sidang dan berakhir dengan wisuda.
Setelah sidang skripsi selesai, Ia pulang kerumah dalam kondisi down, sampai-sampai minum saja tidak masuk, yang berujung deshidrasi, sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Semenjak itu pola makan, menu makanan harus betul-betul diperhatikan. Pernah, dia minta saya untuk memasakan sayur sop yang berdasarkan resepnya. Namun saya ingin menangis ketika dia mencicipi masakan itu yang menurut saya sudah pas bumbunya tapi menurutnya tidak berasa apapun (hambar). Dia hanya bilang “mungkin Allah Swt sudah mencabut rasa nikmat makan teteh.”  
Setiap hari dia mewasiatkan “untuk selalu taat sama orang tua, sama Allah, bahkan hal-hal yang sunnah pun harus kamu lakukan selagi masih kuat dan ada kesempatan. Karena kalau sudah sakit (seperti teteh) tidak bisa mengerjakan banyak hal. Jangan terlalu sering untuk bergadang, apalagi untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bersyukurlah, kamu masih bisa merasakan nikmatnya tidur dengan nyenyak berbeda dengan teteh yang sekedar ingin terlelap sebentar saja tidak bisa”. Sedikit demi sedikit kenikmatan telah Allah ambil darinya. Tanpa disadari mataku meneteskan air mata, (sambil beristigfar dalam hati).
Ketika wisuda keadaanya sedang parah, namun ia optimis. Keluarga khususnya saya telah dibuat kagum/bangga dengan kelulusannya yang mendapatkan predikat cumlaude. Hal itu membuat saya berfikir bahwa selama kita yakin (optimis), berusaha dan berdo’a maka Allah kabulkan semuanya. Jangankan orang yang sehat orang yang sakit saja selama masih memilki harapan (optimis) semua akan terwujud.
Setelah wisuda, kurang lebih selama empat puluh lima hari ia sudah tidak bisa jalan, bahkan untuk ke kamar mandi saja harus digendong. Semenjak saya mendampingi ia sakit, ia tidak pernah berkeluh kesah sedikitpun kecuali dalam sholatnya. Dia pernah mengatakan “untuk apa mengeluh, menangis di hadapan manusia? itu hanya sia-sia saja. Lebih baik mengadu kepada sang Maha Pencipta”. Banyak sekali pelajaran yang dapat saya ambil ketika melihat ia terus berjuang untuk menghadapi sisa-sisa hidupnya, bahkan ia tidak berhenti bertashbih, meminta maaf terhadap orang-orang yang hendak menjenguknya.
Sampai akhirnya ia dipanggil Allah Swt lebih dulu, tepat pada hari Senin, 09 Oktober 2017 dini hari. Saya seolah-olah tidak percaya bahwa ia pergi dalam waktu yang sangat singkat dan saya sendiri menyaksikan langsung kepergiannya di depan mata. Saya menjerit dengan keras seperti ada yang menghantam hati saya, sehingga benar-benar terasa sakit. Seolah-olah banyak hal yang belum tersampaikan kepadanya begitupun sebaliknya. Kemudian saat itu nenek saya menepuk pundak saya untuk menenangkan sambil mengatakan, “harus ridho, ikhlaskan, ini yang terbaik, doakanlah, sekarang kamu menjadi seorang kakak yang harus membimbing adikmu kedepannya”.
Tanggungjawab sebagai kakak dan sebagai anak pertama bukanlah hal yang mudah. Setiap prilaku, perkataan harus benar-benar yang dapat memberikan contoh baik untuk seorang adik.
Terimaksih teh, sudah menjadi kakak yang baik selama dua puluh satu tahun, sudah banyak memberikan bimbingan, pengajaran yang baik untuk adikmu selama ini. Maafkan semua kesalahan adikmu selama ini, yang terlalu sering bersikap ke kanak-kanakan. Semoga keluarga kita dipertemukan kembali di Jannah-Nya. Aamiin.

sayangilah orang-orang yang berada disekitarmu saat ini, karena kita hidup di dunia ini tidak akan pernah terulang kembali.  


Komentar